Sejarah Cap Tikus Asal Minahasa
Cap Tikus dalam Perjalanan Colombus
Minuman ini memiliki sejarah panjang yang dapat ditelusuri kembali ke abad ke-16. Antonio Pigafetta mendokumentasikan minuman ini dalam perjalanan Columbus. Pada tahun 1521, ketika kapal Columbus melewati Kepulauan Sangir Talaud, Raja Ternate menjamu mereka dengan arak yang dimasak, yang sekarang dikenal sebagai Cap Tikus.
Dalam Upacara Adat
Minuman Cap Tikus memiliki peran penting dalam berbagai upacara adat Minahasa, terutama sebagai penghormatan kepada dewa pembuat rumah, Leluhur Tingkulendeng. Dalam tradisi ini, tuan rumah harus menyodorkan minuman ini kepada Tonaas (pimpinan adat upacara naik rumah) sambil menari dan menyanyikan lagu “tuasan e sopi e maka wale,” yang berarti “Tuangkanlah Cap Tikus wahai tuan rumah.”
Perubahan Nama dan Sejarah Modern
Pada awalnya, masyarakat Minahasa mengenal minuman tradisional ini dengan nama Sopi. Pada tahun 1829, para pemuda Minahasa yang mengikuti pendidikan militer mulai menggunakan nama Cap Tikus ketika mereka membawa minuman ini dalam botol biru dengan gambar buntut tikus. Pedagang-pedagang Cina di Benteng Amsterdam, Manado, kemudian menjual minuman ini.
Berita Terkait:
Batu Persidangan : Bukti Keadilan Ditegakan…Selengkapnya
Proses Pembuatan Sopi (Cap Tikus)
Masyarakat Minahasa membuat Cap Tikus melalui penyulingan pohon aren atau enau, yang mereka kenal sebagai seho. Berikut adalah proses penyulingannya:
- Persiapan Nira: Petani mengetuk mayang pohon seho dengan lilang atau parang yang sangat tajam selama 3-4 hari untuk merangsang keluarnya air nira. Mereka memastikan nira yang digunakan asam, bukan manis.
- Penyulingan Tradisional: Petani melakukan proses penyulingan di tungku yang disebut porno, menggunakan api dari kayu bakar. Mereka menggunakan drum besar sebagai wadah penyulingan. Petani membutuhkan waktu 1-2 jam untuk mengubah 6 galon nira (saguer) menjadi 1 galon produk jadi.
- Kualitas Alkohol: Petani menyebut dua botol pertama hasil sulingan sebagai cakram. Cakram memiliki kadar alkohol 45% dan mereka anggap paling nikmat. Sulingan berikutnya hanya memiliki kadar alkohol sekitar 30%.
5. Produksi Modern dan Legalitas
6. Upaya Legalisasi oleh Pemerintah
Pemerintah Kabupaten Minahasa Selatan aktif memperjuangkan legalisasi minuman tradisional ini sebagai produk khas Minahasa. Kesejahteraan dan peningkatan ekonomi para pengrajin adalah tujuan paling awal. Tidak ada lagi alasan lain selain memajukan daerah sendiri.
Dengan semua ini, jelas bahwa CT bukan hanya sekedar minuman beralkohol, tetapi juga merupakan bagian penting dari warisan budaya Minahasa yang kaya akan tradisi dan sejarah.