lacocinadeauro.com – Pedagang Kantin Menjerit: Dari Pandemi ke Program MBG. Sepinya pelanggan menjadi momok bagi banyak pedagang kantin. Sejak pandemi, mereka telah berjuang keras untuk mempertahankan usahanya. Kini, kebijakan baru seperti Program MBG (Makan Bersama Gratis) semakin memperumit situasi. Dalam kondisi ini, para pedagang kantin berada di titik kritis. Bagaimana cerita perjuangan mereka menghadapi situasi ini?
Pandemi Mengubah Segalanya
Pandemi COVID-19 meluluhlantakkan berbagai sektor, tak terkecuali bisnis kecil seperti kantin. Ketika sekolah dan kantor di tutup, aktivitas kantin nyaris terhenti total. Meski pandemi mereda, dampaknya masih terasa. Pendapatan yang sebelumnya cukup stabil kini anjlok hingga 70%.
Situasi di perparah dengan berkurangnya daya beli masyarakat. “Kami sudah berusaha bertahan dengan berbagai cara, tapi pelanggan tetap sepi,” keluh salah satu pedagang kantin. Bahkan saat kondisi mulai membaik, kebijakan baru hadir menambah beban yang belum pulih sepenuhnya.
Program MBG: Harapan atau Beban Baru?
Program Makan Bersama Gratis (MBG) di gadang sebagai solusi untuk meningkatkan gizi anak-anak sekolah. Namun, kebijakan ini memiliki sisi lain yang jarang di bahas. Para pedagang kantin, yang biasanya menjadi tempat makan favorit siswa, mendapati usahanya semakin tergeser. Banyak siswa kini lebih memilih makanan gratis yang di sediakan melalui program tersebut.
“Dulu kantin ramai saat istirahat, sekarang hanya beberapa siswa yang mampir,” ujar seorang pedagang. Kondisi ini memunculkan di lema. Di satu sisi, program MBG membantu siswa, tetapi di sisi lain, usaha kecil pedagang kantin terancam mati perlahan.
Adaptasi yang Tidak Selalu Mudah
Pedagang kantin mencoba berbagai cara untuk bertahan. Beberapa mulai menjual makanan yang lebih ekonomis, sementara yang lain beralih ke layanan pesan antar. Sayangnya, tidak semua pedagang mampu beradaptasi dengan cepat.
Kendala modal menjadi salah satu penghalang utama. “Kami ingin menambah variasi menu, tapi tidak punya cukup dana,” kata salah satu pemilik kantin. Selain itu, tidak semua pelanggan tertarik dengan inovasi baru, terutama jika harga di anggap lebih mahal di banding makanan gratis dari program MBG.
Dukungan yang Masih Minim
Dukungan kepada pedagang kantin dari pihak terkait di anggap belum memadai. Sebagian besar pedagang berharap adanya kebijakan yang lebih berpihak pada mereka. Subsidi bahan baku atau pelatihan bisnis sederhana adalah beberapa bantuan yang di anggap mampu meringankan beban.
Sayangnya, hingga kini, solusi konkret belum terlihat. “Kami merasa seperti berjuang sendiri,” ujar salah satu pedagang dengan nada kecewa. Tanpa dukungan yang memadai, keberlanjutan usaha mereka semakin terancam.
Dampak Sosial dan Ekonomi
Sepinya usaha kantin tidak hanya berdampak pada pedagang itu sendiri, tetapi juga pada ekosistem pendukung lainnya. Pemasok bahan makanan hingga pekerja kantin ikut terdampak. Kondisi ini menjadi potret kecil dari persoalan ekonomi yang lebih besar.
Selain itu, hilangnya kantin sebagai tempat interaksi sosial juga menjadi perhatian. “Kantin bukan sekadar tempat makan, tapi juga tempat siswa berinteraksi,” ungkap seorang guru. Dengan sepinya kantin, ruang sosial siswa berkurang, dan ini menjadi dampak lain yang tak boleh di abaikan.
Kesimpulan
Mereka berada di tengah pusaran tantangan yang berat. Dari pandemi yang menghancurkan stabilitas ekonomi mereka hingga Program MBG yang mempersempit ruang gerak usaha. Diperlukan solusi yang bijaksana agar program pemerintah tetap berjalan tanpa mengorbankan usaha kecil seperti kantin.